STN Desak Pemerintah Revisi Perpres Reforma Agraria
KONTRASBANTEN.COM,SERANG – Serikat Tani Nelayan (STN) mendesak pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto untuk segera merevisi Perpres Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria.
Desakan ini muncul karena ketimpangan agraria dinilai semakin memperburuk kemiskinan di pedesaan.
Dalam dua bulan terakhir, aksi massa terjadi di Jakarta dan beberapa kota besar. Tidak hanya mahasiswa, aksi juga diikuti buruh, nelayan, masyarakat miskin kota, dan terutama petani.
Mereka menuntut keadilan sosial, akses pendidikan, kesehatan, serta solusi atas konflik agraria yang menjadi akar ketimpangan sumber daya alam.
Ketua Umum STN, Ahmad Rifai, menilai, persoalan agraria adalah kunci kesejahteraan rakyat.
“Akar dari ketimpangan sosial dan ekonomi bangsa ini ada di masalah agraria. Tanah dan sumber daya alam lebih banyak dikuasai segelintir kelompok, sementara petani kecil hanya kebagian lahan yang sempit,” ujarnya, Kamis 2 Oktober 2025.
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menyebut lebih dari 50 persen sumber daya alam dan tanah dikuasai oleh kelompok “serakahnomics,” yaitu pihak asing, oligarki, dan pejabat korup.
Pernyataan ini sejalan dengan data BPS 2023, yang mencatat mayoritas petani hanya memiliki lahan di bawah 0,5 hektare. Bahkan, pada Maret 2024, 47,94 persen penduduk miskin ekstrem di Indonesia bekerja di sektor pertanian.
“BPS mencatat hampir separuh penduduk miskin ekstrem di Indonesia berasal dari sektor pertanian. Kalau reforma agraria tidak jalan, maka kemiskinan di desa akan terus meningkat,” tegas Rifai.
STN menilai, revisi Perpres Reforma Agraria harus melibatkan organisasi massa tani.
“Revisi ini harus jelas memasukkan organisasi tani sebagai mitra strategis. Tidak logis jika reforma agraria dilakukan tanpa melibatkan petani yang setiap hari berhadapan dengan konflik lahan,” katanya.
Hal ini sejalan dengan Keputusan Menteri ATR/BPN Nomor 4046/SK-LR.02.01/VII/2025, yang sudah menetapkan organisasi tani sebagai mitra strategis. Namun, STN menilai implementasinya belum berjalan maksimal.
"Kalau di atas kertas sudah ada keputusan, jangan lagi ditutup-tutupi. Libatkan organisasi tani secara nyata dalam Tim Percepatan Reforma Agraria Nasional maupun Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di daerah,” tambah Rifai.
Berdasarkan data Kementerian ATR/BPN, hingga 2024 baru 26 persen dari target redistribusi lahan seluas 9 juta hektare yang terealisasi.
"Capaian reforma agraria masih jauh dari harapan. Kalau pola lama terus dipertahankan, kapan petani bisa sejahtera?” ucap Rifai.
Selain itu, STN menyoroti komposisi tim reforma agraria yang dinilai belum melibatkan semua kementerian terkait, seperti Kementerian Lingkungan Hidup. Padahal, keterlibatan semua pihak dianggap penting untuk mempercepat penyelesaian konflik.
Rifai menegaskan, reforma agraria bukan sekadar program, melainkan amanat konstitusi.
“Pasal 33 UUD 1945 jelas menyebutkan bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Reforma agraria adalah wujud nyata sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.
STN pun menyerukan dukungan dari seluruh elemen bangsa.
“Kami mendukung penuh Presiden Prabowo untuk mengonsolidasikan persatuan nasional, dimulai dari lapangan agraria. Reforma agraria yang adil dan konsisten adalah jalan menuju kedaulatan pangan dan kesejahteraan rakyat,” pungkas Rifai.